• Nusa Tenggara Timur

Elemen Masyarakat NTT Gelorakan Referendum Masa Jabatan Presiden

Imanuel Lodja | Jum'at, 18/06/2021 10:42 WIB
 Elemen Masyarakat NTT Gelorakan Referendum Masa Jabatan Presiden ilustrasi_referendum

katantt.com--Sejumlah elemen masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah menggelorakan semangat referendum sebagai mekanisme politik biasa, untuk memurnikan kembali kedaulatan rakyat tentang masa jabatan presiden.

Namanya, Komite Penyelenggara Referendum Terbatas pada Konstitusi 1945 NTT.

Komite yang dipimpin Pius Rengka dan sejumlah nama dalam tim inti diantaranya Imanuel Blegur, Caroline Noge, Hadi Djawas, Clarita R. Lino dan sejumlah aktivis peduli demokrasi lainnya itu, telah dibentuk pada Kamis 29 April 2021 silam.

Tidak tanggung-tanggung, jaringan Komite Penyelenggara Referendum Terbatas ini, semakin merambah luas hingga ke kabupaten, Kecamatan dan pelosok Desa di NTT.

Ketua Komite Penyelenggara Referendum Terbatas, Pius Rengka menyebut, gagasan pembentukan Komite Penyelenggara Referendum ini sesungguhnya bukan muncul dadakan.

“Gagasan ini lahir tergoda dan tergelitik sangat serius, diawali setelah tim penggagas mencermati aspirasi sangat kuat dan luas masyarakat NTT untuk mengubah ketentuan pasal konstitusi, yang mengatur tentang periodesasi dan batas masa jabatan presiden Indonesia,” kata Pius Rengka, Jumat (18/6/2021).

Menurut Pius, Komite ini dibentuk atas inisiatif beberapa elemen masyarakat setelah mencermati dengan sangat serius aspirasi rakyat NTT.

Amat sangat luas tertangkap opini yang meminta agar batasan masa jabatan presiden perlu serius dikoreksi.

“Koreksi atas batasan masa jabatan itu muncul kian marak menyusul kunjungan beruntun selama 10 kali Presiden Jokowi ke NTT, di masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A. Nae Soi,” ujarnya.

Patut diduga, lahirnya aspirasi luas masyarakat untuk mengoreksi periodesasi masa jabatan itu, lantaran cinta dan perhatian Presiden Jokowi sangat tuntas dan sangat luar biasa atas seluruh pawai pembangunan nasional selama ini.

Terutama pembangunan infrastruktur jalan raya, kecepatannya mengatasi problem bencana sosial dan bencana alam dan lain-lain sehingga Presiden Jokowi dinilai sangat sensitive dan sangat decisive.

Pius menambahkan, masa jabatan presiden yang dibatasi dua periode seturut aspirasi luas rakyat NTT, sejenis kooptasi elit oligarki politik atau semacam pembajakan demokrasi deliberatif.

“Demokrasi deliberatif adalah demokrasi terlibat yang melibatkan semua elemen dalam proses dan evaluasi politik pembangunan," ujarnya.

"Demokrasi deliberatif tidak hanya mengandalkan lembaga-lembaga politik seperti partai politik, yang dalam cermatan banyak pihak partai politik terkesan telah berubah menjadi instrumen kooptatif dan cenderung manipulatif,” ungkapnya.

Direncanakan deklarasi Komite Penyelenggara Referendum Konstitusi NTT digelar 21 Juni 2021 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Presiden Jokowi.

Saat deklarasi itu bakal diundang pihak-pihak negara, masyarakat sipil, pers, dan para pencermat politik dan sosial.

“Bahkan kami berencana mengundang Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi, untuk hadir dalam acara deklarasi itu, agar negara patut tahu bahwa ada opini luas dari warga negara khususnya warga negara di NTT yang berkehendak agar perihal periodesasi masa jabatan presiden perlu serius dikoreksi,” terangnya.

Pius Rengka mengatakan, pasal yang mengatur tentang periodesasi masa jabatan presiden ini harus dikoreksi karena perihal masa jabatan presiden sesuai ketentuan konstitusi hanya dua periode.

Ketentuan konstitusi ini dalam sejarahnya mengalami kooptasi dan pembajakan kedaulatan rakyat.

Seharusnya untuk jabatan sangat strategis serupa itu, konstitusi harusnya hanya cukup menentukan tentang lama waktu tiap periode kepemimpinan presiden.

Arus tuntutan untuk mengubah periodesasi masa jabatan presiden yang menurut ketentuan UUD 1945 pada amandemen ketiga bahwa masa jabatan presiden tiap periode lima tahun dan dapat dipilih lagi hanya untuk masa jabatan dua periode.

Teks ini tampaknya atau kesannya sebagai batasan demokratis, tetapi sesungguhnya ketentuan itu sangat bernuansa kooptatif dan sejenis pembajakan demokrasi rakyat.

Menurut Pius, mekanisme perubahan konstitusi melalui mekanisme referendum idealnya dan seharusnya memang demikian, dikembalikan ke pemilik sah kedaulatan yaitu rakyat itu sendiri.

Untuk mengerti apa sesungguhnya gagasan rakyat, harus ditempuh dengan cara mencari dan menemukan opini publik.

Opini publik dapat diketehui pasti dan persis melalui referendum karena dengan referendum selain pemulihan hak-hak asasi manusia, tetapi juga referendum adalah wujud konstitusional dari praktek kedaulatan rakyat.

Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat sesuai ketentuan Pasal 1 (2) Undang-Undang Dasar yang ditentukan pada amandemen konstitusi yang ketiga.

"Kebenaran ontologis kehendak rakyat itu hanya mungkin ada pada pikiran dan tangan rakyat itu sendiri,” ujar Pius.

FOLLOW US